Sungai Gravel White
Sudah kurang lebih 15 menit Adi menunggu umpan pancingannya dimakan ikan. Namun, tidak juga mendapatkan ikan satu pun. Walau begitu ia tetap sabar menunggu. Terkadang matanya melirik kekiri untuk melihat kakak beradik Luqman dan Firman yang juga sedang sabar menunggu umpannya dimakan. Luqman yang dari tadi sangat konsentrasi, sesekali ikan yang mendekati mata pancingnya namun kembali menjauh karena mendengar suara Adi yang menepuk nyamuk yang hinggap di tangannya.
“Kenapa, ya? Rasanya ikan yang ada di tempat ini sudah berkurang dari yang dulu?” keluh Luqman.
“Iya, ya? Sudah dari tadi kita memancing di sini, tapi hasilnya cuman sedikit seperti ini… Aku saja cuman dapat 4 ekor, itu pun kecil.” jawab Adi sambil memperhatikan tempat penyimpanan ikan miliknya.
“Apa mungkin ikannya sudah berpindah tempat semua,ya?”
“…Atau mungkin saja tempat ini sudah sering kita jadikan tempat memancing, jadi ikan yang ada sudah habis kita tangkap semua…” tambah Adi. Ketika Adi dan Luqman sedang asik berbincang, tiba-tiba Firman langsung kalangkabut menarik pancingannya.
“Aku dapat! Sepertinya besar sekali!! Cepat tolong aku…” teriak Firman kewalahan. Adi dan Luqman yang terbengong melihat Firman langsung segera membantu. Namun ketika mata pancing diangkat lebih tinggi, ternyata yang didapatkan Firman adalah sebuah ranting pohon besar tua yang sudah berlumpur karena terlalu lama di dalam air. Mereka semua pun langsung serantak kecewa.
“Sepertinya, perkataan kalian benar soal tempat ini. Sebaiknya cari tempat memancing yang baru.” kata Firman santai sambil dengan telaten melepaskan kayu dari kail pancingannya.
Saat Adi, Luqman dan Firman sedang berberes-beres, Rizal datang sambil kewalahan menenteng peralatan memancingnya. “Ternyata kalian disini… Dari tadi ku cari, sampai-sampai aku harus menyusuri sepanjangan pinggiran sungai untuk menemukan kalian.” sapa Rizal dengan nafas yang masih terenggah-enggah.
Rizal pun langsung ikut memancing dengan mereka. Walau masih amatir, Rizal sangat senang dan menikmati memancing dengan Adi, Luqman, dan Firman. Karena hanya dengan merekalah Rizal bisa bermain.
Sambil melihat ke arah aliran sungai yang tenang, Adi berhayal menemukan suatu tempat memancing yang sangat indah dan kaya sekali akan ikan, dengan pemandangan yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata. “Pernahkah kalian membayangkan suatu tempat di sungai ini yang sangat indah dimana terdapat banyak sekali ikan?” tanya Adi ngelantur.
“Tidak pernah.” jawab Rizal spontan tanpa pikir panjang.
“Seperti apa?” tanya Luqman penasaran.
“Entahlah, yang pastinya tempat yang sangat indah.”
“Ah, ngelantur kamu.”
Mereka menyadari kalau matahari sudah mulai memerah, jadi mereka pun mulai pulang ke rumah masing-masing. Hasil tangkapan hari ini mungkin memang sedikit. Tapi, mereka sudah senang dengan itu. Karena sebenarnya tujuan mereka memancing hanyalah sekedar hobi dan untuk bersenang-senang saja.
* * *
Para jama’ah satu persatu pergi meninggalkan musolla An-Nur setelah selesai menunaikan sholat Isya berjama’ah. Musolla yang letaknya di kelilingi oleh hutan itu menjadi tempat ibadah utama di desa. Karena desa Adi dan kawan-kawannya terletak di pedalaman hutan Kalimantan, jadi fasilitasnya masih kurang memadahi. Adi mengajak semua teman-temannya untuk berkumpul di samping musolla sebelum pulang. Sepertinya ada hal penting yang mau disampaikannya. Firman, Luqman, dan Rizal dengan penasaran langsung mengerumbuni Adi.
“Ada apa, Di?” Tanya Luqman penasaran.
“Aku sudah membuat sebuah rencana besar” jawab Adi serius.
“Rencana apa?” tanya Luqman tambah penasaran.
“Begini, rencanaku adalah untuk menelusuri sungai Kerikil Putih dengan begitu mungkin kita bisa menemukan sebuah tempat memancing yang lebih baik lagi atau tidak menutup kemungkinan kita bisa menemukan suatu tempat yang sangat indah disungai itu yang tidak diketahui orang.”
“Apa!” seru teman-temannya serentak.
“Ssst… Diam, nanti ketahuan orang lain.”
“Ide yang lumayan bagus, bisa dicoba…”
* * *
Semua rencana sudah tersusun rapi, mereka mulai menyiapkan dua buah ban mobil bekas yang akan digunakan sebagai perahu. Mereka mengikat kedua ban mobil tadi sambil menambahkan sebuah papan yang diletakkan di tengahnya.
Perahu pun sudah siap. Satu persatu mereka mulai menaiki perahu itu. Rizal dibagian paling depan, dibelakangnya Firman, Adi, dan yang paling belakang Luqman. Dengan perlahan perahu mulai berjalan lambat mengikuti arus. Mereka mengayuh secara bergantian. Pada awalnya semua masih tenang. Lama kelamaan, air sungai yang tadinya berwarna bening berubah menjadi biru tua. Semua terdiam membisu, terbawa oleh suasana hutan yang sangat rimbun. Mereka saling melepas pandang satu sama lain.
Ketenangan yang tadi terjaga akhirnya pecah saat mendengar suara seekor hewan yang melompat ke dalam air tepat di depan mereka, sekilas hewan itu terlihat seperti buaya. Spontan mengejutkan Adi, Firman, Luqman, dan Rizal yang dari tadi memang memendam rasa takut mereka. Tanpa sadar lagi mereka sudah melupakan misi penelusurannya dan dengan paniknya mengayuh perahu sederhana mereka dengan gesit. Pada akhirnya mereka semua kembali ke tempat mereka berangkat tadi. Misi penelusuran pun gagal.
* * *
Lonceng istirahat sudah berbunyi, semua anak-anak kelas 3 berlarian keluar, ada yang pergi ke kantin dan ada pula yang langsung bermain di halaman sekolah. Saat semua orang sedang menikmati istirahatnya, Adi hanya bisa duduk terdiam di bawah sebuah pohon besar yang rimbun dan sejuk. Entah apa yang dipikirkannya, mukanya terlihat sedang memikirkan sesuatu. Tidak ada satu orang pun yang memperhatikannya. Tidak lama kemudian datanglah Firman mendekati Adi setelah baru saja dari kantin.
“Apa yang kau pikirkan dari tadi? Serius sekali…” tanya Firman sambil duduk di sebelah Adi.
“Bukan apa-apa.” jawab Adi sambil menundukkan kepalanya lesu.
“Oh, tentang kemarin, ya? Nanti bisa di coba lagi kok…” tanya Firman dengan santainya.
“Mau dicoba bagaimana pun, tetap saja keadaan sungainya seperti itu…”
“Aneh, kenapa kamu jadi spesimis begitu?”
Adi sangat terkejut mendengar perkataan Firman barusan. pandangan Adi pun langsung berpindah ke arah Firman. Adi merasa perkataan Firman itu membangkitkan semangat baru bagi dirinya.
Dia yang dari tadi menatap Firman langsung mengalihkan pandangannya dan sambil melihat ke arah awan yang bergerak tenang, dia berkata, “Kau benar, Fir… Gagal sekali bukan berarti aku harus mundur selamanya, tidak ada salahnya mencoba sekali lagi!” yakin Adi.
Firman yang mendengar perkataan Adi itu langsung tersenyum kecil, “Oh,ya… Tahu tidak, kemarin saat aku ke kebun, aku mendengar suara seperti suara banjir yang sangat besar…” kata Firman, “Tapi, sepertinya suaranya jauh dari perkebunan… Karena takut, aku langsung saja cepat-cepat membawa hasil panennya pulang.”
“Eh, tunggu dulu… Kamu bilang suaranya seperti banjir besar…” tanya Adi tertarik dengan kisah Firman.
“Iya, seperti air yang jatuh dari tempat yang sangat tinggi…” jawab Firman bingung.
“Benarkah?” kata Adi berbisik, “Bisakah hari ini kamu membawaku ke kebun milik orang tuamu, Fir?”
“Tentu saja, tidak masalah… Untuk apa?”
* * *
Matahari masih terik menyinari, tapi Adi, Luqman, Firman, dan Rizal sudah berlarian menuju ke kebun milik orang tua Firman dan Luqman, yang tidak terletak jauh dari desa Land East atau yang biasa orang sekitar bilang desa Landas tempat Adi dan kawan-kawannya tinggal. Sesampainya di sana, yang menyambut mereka pertama kali adalah kesunyian perkebunan yang dikelilingi oleh hutan belantara.
“Sekarang apa?” tanya Luqman dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
“Coba tenang dan dengarkan…” bisik Adi sambil memasang telinganya.
“Mendengarkan apa?” tanya Rizal berbisik kepada teman-temannya, dia sama sekali tidak tahu apa.
“Suara air terjun disungai Kerikil Putih…” jawab Adi tenang.
“Apa? Air terjun.” spontan Luqman tidak percaya.
“Oh, aku mengerti… Kita bisa mengikuti sumber suara.” kata Firman.
“ZZZRRRSSSS…” suara yang terdengar samar ditelinga Adi, “Kalian bisa mendengarnya?”
“Di sana!” seru Adi tiba-tiba sambil menunjuk sumber suara. Melihat Adi yang sudah jauh, Firman, Luqman, dan bahkan Rizal yang tidak tahu apa langsung mengikutinya.
Mereka semua melewati daerah hutan belantara yang masih asli dan kurang terjamah oleh manusia. Pemandangan yang masih sangat asing pun menemani perjalanan mereka. Sesekali Adi berhenti untuk mendengarkan lagi, teman-temannya sangat bingung melihat tingkah lakunya itu.
Suara air terjun pun semakin jelas ditelinga mereka. Jantung Adi berdetak semakin kencang, karena dia yakin sebentar lagi mimpinya akan menjadi kenyataan, itu membuatnya lupa akan teman-temannya yang sudah tertinggal sangat jauh. Langkah cepat Adi tiba-tiba terhenti. Ada kebahagiaan terpancar dari wajahnya.
“Ya, ampun… Tidak ku sangka ada tempat seperti ini di desa kita...” kata Firman yang baru saja sampai.
“Astaga!” seru Luqman dan Rizal serentak beitu melihat air terjun itu.
Mereka menemukan sebuah air terjun yang yang selama ini ternyata tersembunyi di pedalaman sungai Kerikil Putih. Sungguh sesuatu yang sangat menakjubkan, mereka bisa melihat untuk pertama kali sebuah ciptaan Tuhan yang sangat indah dan saat ini lokasinya masih sangat jarang ditemui oleh warga desa sekitar. Keindahannya sangat sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata, panorama yang sangat luar biasa indah mengelilingi air terjun itu. Air sungai yang sangat jernih memantulkan cahaya matahari dan bayangan pohon-pohon yang berada di pinggirannya. Kabut-kabut menyelimuti disekitar tempat jatuhnya air. Tebing-tebing air terjun dilapisi batu putih yang tertata rapi. Ikan-ikan memenuhi di sekitar air terjun.
Rasanya mereka sampai tidak bisa memalingkan pandangan mereka, tiba-tiba ada suara orang berteriak, “Kalau begitu perlu diingat, orang yang pertama kali berenang di sini adalah aku!!” seru Rizal dari bawah tepat di dekat jatuhnya air, dia sudah melepas bajunya dan langsung melompat ke sungai setelah mengatakan hal itu.
“Huh, curang!!” seru Adi, Firman, dan Luqman serentak.
“Tapi, perlu di ingat juga… Orang yang pertama kali menemukan dan memimpikan air terjun ini adalah sahabatku Adi!!” teriak Firman membalas perkataan Rizal. Adi, Firman, dan Luqman pun langsung melepas pakaian mereka dan ikut bergabung bersama Rizal.
* * *
Semenjak saat itu, sekarang air terjun itu menjadi tempat wisata dan sekaligus dipergunakan untuk pembangkit listrik tenaga air. Itu menjadi kebanggaan tersendiri dimata penduduk desa. Nama untuk air terjun itu belum di berikan. Jadi sampai sekarang menjadi air terjun tanpa nama.
Sekarang tinggal masalah waktu saja, mampukah Adi dan kawan-kawannya dan juga warga desa sekitar untuk merawat ciptaan Tuhan yang indah itu, itu tergantung kesadaran masing-masing orang. Jangan hanya bisanya menguras kekayaan alam tanpa mau merawatnya.
0 Response to "Sungai Gravel White"
Posting Komentar