Cerpen: Rasi Bintang


Pandangan Rasi tak lepas dari sosok ganjil yang duduk di depannya. Ia merasa aneh, bagaimana bisa ada lelaki berambut gondrong yang berkuliah di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan. Setahu dirinya, di fakultas tersebut mewajibkan bagi mahasiswanya untuk berpenampilan yang rapih layaknya guru-guru yang ada di sekolah. Sementara rambut gondrong sudah jelas masuk ke kategori tidak rapih. Entah mengapa hal tersebut tidak berlaku bagi lelaki yang satu ini. Rasi yang baru kali itu melihat menjadikannya pusat perhatian. Ia baru saja dipindahkan ke kelas Ini setelah beberapa semester telah ia lalui di kelas lain. Wajar saja kalau dirinya baru pertama kali bertemu lelaki unik itu.
Lelaki itu selalu tampil dengan rambut yg selalu tampak panjang. Tetapi hari ini ada yg berbeda dari penampilannya. Entah mengapa rambutnya yang selama ini dibiarkan panjang terpotong pendek.  Hal tersebut membuatnya tampak jauh lebih rapih dari biasanya. Ada satu hal yg membuat Rasi terpanah, pandangannya tak lepas dari kepala lelaki itu.... Iya kepalanya. Disitu Rasi seperti melihat bekas jahitan yg cukup panjang. Apa yang sebenarnya pernah menimpa dirinya? Rasi bertanya-tanya dalam hatinya apakah hal tersebut adalah salah satu alasan yg membuatnya jarang berbicara dengan siapa pun. “Oke, apapun itu adalah haknya sedangkan aku bukan siapa-siapanya walaupun kami berada di kelas yg sama." Ujarnya dalam hati.
Hari-hari yang melelahkan pun terus berlalu. Rasi cukup menikmati kehidupan kuliahnya di kelas baru tersebut. Ia tak kesulitan mendapatkan teman akrab seperti halnya Lisya yang telah menemaninya kemana pun beberapa minggu ini. Ada yang berbeda dari seorang Rasi, ternyata dirinya tidak pernah berteman akrab dengan seorang cowok apalagi sampai bersahabat.


Kayaknya seru ya kalau bersahabat dengan cowok?” tanya Rasi kepada Lisya.
“Emang kamu nggak pernah?” kata Lisya balik bertanya.
Nggak, makanya aku tanya kamu.” Lisya pun tertawa mendengar pertanyaan aneh yang keluar dari mulut Rasi. Gimana tidak aneh, tidak ada angin tidak ada hujan pertanyaan tersebut keluar begitu saja dari mulut Rasi.
“Emm….  Kamu kenal dekat nggak sama anak yang kemarin rambutnya gondrong tapi sekarang udah nggak lagi itu?” Tanya Rasi.
“Oh pasti yang kamu maksud itu Eji kan?” jawab Lisya.
“Hah Eji? Perasaan nggak ada nama itu deh di kelas kita.” Kata Rasi.
“Itu nama panggilannya tahu. Nama lengkapnya itu Bintang Faezi Saniantara. Jadi, nama panggilannya itu diambil dari kata Faezi.” terang Lisya. “Ada apa sih? Tumben nanyain, kamu suka ya sama dia, atau jangan bilang kalau dia cowok yang pengen kamu jadikan sahabat itu?tebak Lisya sambil tertawa.
“Apaan kamu Lisya... Iseng banget sih” jawab Rasi sembari menyubit kecil temannya itu.
Berada di satu kelas yang sama tidak mungkin membuat Rasi tidak akrab dengan anak-anak yang ada di dalam kelas tersebut. Minimal paling tidak, ada sedikit perbincangan yang pernah dilakukan, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk lelaki bernama Eji. Lelaki itu tampak unik dan cenderung aneh. Kenapa dari sekian banyak mahasiswa di kelas tersebut, cuma Eji lah yang tidak pernah sama sekali Rasi ajak ngomong. “Duh” udah ada cowok itu lagi yang duduk di barisan depan, mana yang lain udah pada penuh. Pokoknya aku hari ini harus bisa duduk di depan supaya bisa mendengarkan presentasi dengan baik.” Kata Rasi dalam hati.
“Mas, permisi..” Lelaki yang Rasi panggil pun menoleh. Wajahnya tampak garang dengan alis tebal yang ia miliki. “Boleh pindah nggak tempat duduknya?” ternyata lelaki itu tak bergeming. Matanya yang tajam menatap Rasi dengan seksama. Rasi yang menyaksikan itu sempat kesal dan mulai merutuki dirinya sendiri, mengapa ia harus berurusan dengan orang aneh itu. Sebenarnya bukannya Rasi takut, hanya saja dirinya sedikit merasa segan dengan dirinya. Rasi merasa begitu sebab dari penampilannya saja lelaki itu sudah terlihat tidak bersahabat. Baru saja dirinya ingin meninggalkan tempat, ternyata lelaki itu sudah menggeserkan tempat duduknya dan menyisakan tempat untuk Rasi duduk.
 “Sya, aku pingin nanya nih. Bukan apa-apa sih, hanya saja aku penasaran banget soal ini.” Tanya Rasi kepada Lisya.
 “Ada apa-apa juga gak apa kali, Ras.” Jawab Lisya sambil tertawa.
 “Aku penasaran, si Eji itu udah dari sononya ya suka diem kayak gitu? Mana sikapnya dingin banget kayak kulkas.”
            “Oh Eji ya? Hmm..” Tiba-tiba Lisya menunjukkan sikap yang aneh. Dia justru tampak menggantungkan perkataannya. Rasi berusaha mengorek-ngorek hal apa yang mungkin disembunyikan oleh Lisya. Tetapi pada akhirnya perkataan yang keluar dari mulut Lisya hanyalah pernyataan yang kurang bisa menjawab pertanyaan yang ingin Rasi ketahui sebenarnya.
Suara jam dinding terdengar nyaring ditengah keheningan dan waktu pun sudah menunjukkan lewat dari tengah malam. Kala itu Rasi masih belum juga bisa memejamkan matanya. Kepalanya dipenuhi oleh peristiwa-peristiwa yang telah dilaluinya seharian ini. Ia mencari cara agar matanya bisa diajak kompromi untuk segera tertidur. Akhirnya Rasi pun bangkit dari tempat tidurnya dan membuka pintu menuju balkon kamarnya. Ia pun duduk  lalu mengadahkan kepalanya ke atas langit dan melihat ada bintang-bintang disana. Tampaknya langit sedang cerah sehingga bintang dapat terlihat dengan jelas. Rasi begitu menyukai bintang. Bagi dirinya, bintang selalu bisa membuat dirinya merasa tenang sehingga segala masalah yang tengah dirasakannya seolah sirna. Ia terus memandangi langit, berharap rasa kantuknya segera hadir dan ia pun bisa segera tidur karena besok pagi ia harus kuliah.                  

Pagi ini seperti biasa Rasi pergi kuliah dengan menggunakan bus kota. Sesampainya di kampus, ia pun melewati parkiran dan disana ia melihat ada Eji yang sedang berdiri di tengah  kerumunan kendaraan yang terparkir. Wajahnya yang dingin itu tampak sangat serius, namun Rasi tak mengetahui apa yang sedang terjadi dengan lelaki itu. Walaupun Rasi sudah melihatnya, namun ia memilih untuk tidak menegurnya dan langsung menuju kelas. Ketika dirinya telah memasuki kelas, tenyata lelaki itu juga turut serta berjalan dibelakangnya.

“Eh Rasi! Rasi!” Panggil Lisya sambil berlari ke tempat duduknya.

“Apaan sih teriak-teriak? Pelan-pelan aja kan bisa, gerutu Rasi.  

“Kamu udah tahu nggak, kalau angkatan kita bakalan ngadain malam keakraban?” seru Lisya dengan antusias.

“Seriusan kamu. Emang makrabnya kapan dan dimana?”

“Kalau soal itu sih aku belum tahu, tapi yang jelas katanya kita bakalan makrab di tempat yang dekat dengan pantai, asik kan?” Mendengar kata pantai, seketika Rasi terbayang akan suara deburan ombak yang mengalun lembut. Hal itu pasti akan sangat menyenangkan pikirnya.          

Cuaca hari ini sedang tak bersahabat. Langit tampak mengucurkan air matanya, membuat  Rasi yang tengah berlari menuju halte bus di dekat kampusnya basah kuyup. Ia pun merasa kedinginan dan berusaha meredamnya dengan memeluk dirinya sendiri. Rasi ingin cepat sampai ke rumah dan bisa segera menghangatkan tubuhnya. Namun sudah satu jam bus belum juga muncul. Ia memandang pasrah kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan. Ia berharap ada seseorang yang berbaik hati mau memberikan tumpangan untuknya. Ternyata tidak lama kemudian ada seorang pengendara motor yang berbalik arah setelah sebelumnya ia sudah melewati halte tempat Rasi menunggu. Pengendara motor itu berhenti tepat di depan Rasi duduk. Dengan wajah yang masih tertutup helm, lelaki yang mengendarai sepeda motor besar berwarna hitam itu menyuruh Rasi untuk ikut dengannya. Awalnya Rasi sempat celingak-celinguk melihat sekelilingnya, karena ia merasa takut dengan orang asing itu.  Akhirnya lelaki itu pun membuka kaca helmnya dan berkata kepada Rasi. “Mau ikut nggak? Kayaknya bus masih lama lewat disini lagi.” ujarnya.

Sontak Rasi pun terkejut ketika melihat siapa orang yang ada dibalik helm itu. “Bintang, kamu ternyata. Aku kira tadi siapa.” Rasi pun memberanikan diri untuk membuka mulutnya. Awalnya ia sempat ragu dengan ajakan itu, tetapi pada akhirnya ia pun ikut bersama lelaki yang ia sapa Bintang itu.          

Selama di perjalanan menuju rumah Rasi, tak ada percakapan berarti yang mereka lakukan. Rasi begitu merasa canggung, sebab lelaki itu tak pernah menawarkan bantuan seperti ini sebelumnya. Pada situasi seperti ini, pikiran-pikiran aneh pun mulai berkelibat dalam pikiran Rasi. Sepintas, Rasi begitu menikmati masa-masa itu tetapi dengan cepat ia pun segera mengusirnya agar ia tidak teracuni oleh pikirannya sendiri. Bagaimana bisa ia memiliki perasaan nyaman secepat ini.

            “Rumahmu dimananya?” Tanya lelaki itu.

            “Di ujung jalan sana bakalan ada pertigaan, setelah sampai disana kita belok ke kiri.” Jawab Rasi berusaha menunjukkan jalan menuju rumahnya padanya. “Nah itu dia rumahku! Yang berwarna tosca itu.”            

Ya sudah, aku antar sampai disini saja ya.”

“Kau tak ingin mampir dulu?” Kata Rasi.

            “Terimakasih, mungkin lain kali. Setelah ini aku masih akan ada urusan lagi.” Jawab Bintang. Ia tampak menyunggingkan senyum, suatu hal yang tidak pernah Rasi lihat sebelumnya. Sepulangnya Bintang, Rasi masih terus memandangi punggung lelaki itu yang mulai menjauh dari pandangannya. Dalam hatinya ia masih tidak percaya dengan hal yang baru saja terjadi ini.

            Ketika malam semakin larut, Rasi masih menghabiskan waktunya di balkon kamarnya. Sambil menyeruput teh hangat, ia pun masih memikirkan kejadian tadi siang. Entah mengapa pikirannya dipenuhi oleh lelaki yang telah  mengantarkannya pulang. Senyumnya”. benar-benar telah meracuni pikirannya. “Aku kenapa sih? Bukannya setiap hari sudah melihat lelaki itu di kampus. Tapi kenapa hari ini pikiranku dipenuhi sosok dirinya.” Kata Rasi sambil mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri.

            Keesokan harinya di kampus, Rasi mendengar kabar bahwa acara malam keakraban akan digelar pada pekan depan. Ia sangat tidak sabar menantikan datangnya hari itu. Ia pun mulai berpikir hal apa saja yang ingin ia persiapkan untuk ke sana.

Rasi menyusuri koridor kampus, berharap ia bisa menemukan Bintang. Ia tak melihat lelaki yang sudah mengantarkannya  pulang itu. Ia ingin sekali mengucapkan terimaksih kepadanya, sebab saat itu Rasi belum sempat mengucapkannya tetapi lelaki tersebut sudah langsung pamit untuk pergi. “Mungkin besok aku baru bisa menemukannya.” Kata Rasi dalam hati. Namun hingga beberapa hari berikutnya Bintang juga tak kunjung muncul di kampus dan juga tak tampak di kelas.

Akhirnya hari dimana malam keakraban digelar itu tiba. Para mahasiswa sebelumnya sudah dikordinasikan untuk berkumpul di titik kumpul yang sudah diinformasikan. Rasi dengan jaket toscanya itu tak henti-hentinya mengisyaratkan bahwa ia begitu excited menyambut kegiatan ini. Dalam diamnya, mata rasi mulai menyisir orang-orang yang ada di sana, berharap ia bisa menemukan seseorang yang sudah beberapa hari ini tak kelihatan batang hidungnya.

Sangking gembiranya Rasi melupakan hal penting yang menyangkut dirinya. Ya.... sebelum berangkat, ia lupa meminum obat anti mabuk terlebih dahulu. “Aduh. Kepalaku pusing banget nih. Mana pingin muntah lagi.” Kata Rasi sambil merengek kepada Lisya.

“Tuh kan, padahal udah aku ingatin. Katanya udah ready semuanya tapi buat minum obat anti mabuk aja sampai lupa!gerutu Lisya. “Kapoklah kamu! Ntar disana pasti bakalan nggak bisa ngapa-ngapain, hihihi.” ledek Lisya terkekeh-kekeh menertawakan temannya itu.  Alhasil, sepanjang jalan  Rasi hanya bisa menahan dirinya untuk tidak muntah. Kepalanya begitu pusing dan ia pun berusaha tidur untuk meredam rasa mabuknya dan  menyenderkan kepalanya di bahu Lisya. Dalam hatinya berkata “Syukurin, siapa suruh ngeledekin aku karena mabuk. Emangnya enak pundaknya aku timpa. Pegal-pegal deh sana.” Ujarnya puas.        

Villa tempat mereka menginap letaknya dekat sekali dengan pantai. Setibanya disana, mereka semua langsung disambut oleh matahari senja yang sinarnya seakan membuat satu lautan  berubah menjadi keemasan. Rasi pun turut menikmati fenomena alam yang begitu indah itu. Ia berlari-lari di tepi pantai sambil sedikit bermain air. Setelah puas menyaksikan lembayung senja, mereka semua pun mulai bersiap untuk acara puncak yaitu acara api unggun. Semua peserta makrab bersuka ria menikmati rangkaian acara. Begitu banyak kegiatan yang mereka ikuti malam itu, mulai dengan bernyanyi bersama hingga sesi curhat yang menghiasi malam mereka yang penuh canda dan tawa. Setelah waktu sudah menunjukkan  lewat tengah malam mereka semua dipersilahkan untuk kembali ke villa untuk beristirahat, karena esok hari masih akan ada rangkaian acara yang mesti mereka ikuti. Berbeda dari yang lain, Rasi memilih untuk tidak langsung kembali ke villa. Ia lebih memilih untuk berjalan-jalan di tepi pantai terlebih dahulu, karena dirinya belum merasa ingin tidur.

            Rasi menyusuri pantai itu sendirian. Dirinya tak merasa takut sama sekali karena dirinya masih bisa mendengar sayup-sayup suara gitar yang dimainkan oleh teman-temannya. Ia begitu menikmati suasana itu. Memandang langit yang luas dengan taburan bintang sudah cukup membuat dirinya merasa nyaman. Sangking asyiknya memandang langit, ia sampai dibuat terkejut dengan sosok yang tengah bertengger manis di atas batu besar di tepi pantai itu. Ia adalah sosok yang sangat ingin Rasi temui beberapa hari ini. 

            “Apa yang sedang dilakukan seorang gadis sepertimu di tengah malam begini?” kata lelaki itu.

“Kamu sendiri ngapain nangkring di atas batu kayak begitu, ngagetin aja!  

            “Apa pedulinya kamu denganku?”  Lelaki yang tadinya bersikap biasa saja itu kembali pada sifat aslinya yang menyebalkan.

 “Apa ada yang salah dari pernyataanku barusan?” Kata Rasi.

 “Aku pikir di dunia ini sudah tak ada lagi yang ingin berbicara denganku. Sudah menjadi rahasia umum kalau sikapku seperti ini. Tidak ramah.”

  Rasi menghembuskan napasnya seraya mendudukkan dirinya di atas pasir pantai. Ia mengadahkan pandangannya ke atas langit. Ia mendengar suara lelaki itu perlahan memelan. Ia berpikir, apa yang sebenarnya terjadi oleh lelaki itu. Mengapa dirinya menjadi pribadi yang dingin seperti saat ini. Karena Rasi yakin, bahwa lelaki itu sebenarnya orang yang baik.

“Apa kamu tak takut berpergian seorang diri seperti sekarang?” Mendengar pertanyaan lelaki itu, Rasi hanya bergeming. Tangannya sibuk menggambar di atas pasir pantai sembari sesekali mengadahkan kepalanya ke atas langit.

“Kau tahu Bintang? Bagaimana rasanya memandangi hal yang sangat kita sukai. Dirimu seolah mendapatkan energi positif yang bisa menyokong tubuhmu yang tengah terpuruk. Hal itu sangat ajaib! Aku rasa dirimu sesekali harus mencobanya.”

 “Aku tak yakin dengan hal itu.” Jawabnya.

“Coba kau melihat ke atas, ada banyak bintang yang bertebaran membentuk rasi bintang di bumantara. Aku suka sekali melihat bintang, bukan karena gemerlapnya yang indah dan bukan karena apabila ia jatuh kita bisa membuat suatu permohonan. Tetapi aku menyukainya karena ketika diriku melihat bintang, aku bisa merasakan semua kesombongan diriku seolah memudar. Aku bisa merasakan betapa kecilnya diriku yang begitu banyak diselimuti oleh kesalahan ini. Bahkan apabila dibandingkan oleh bintang yang paling dekat sekalipun seperti matahari, diriku masih merasa seperti butiran pasir yang tak berarti.”

Mata lelaki itu terbelalak. Ia tak menyangka Rasi mengatakan hal semacam itu. Sejujurnya jauh dalam hatinya ia juga menyukai bintang dan hal itu lah yang membuatnya terkejut karena ternyata hal yang disukai Rasi sama dengan dirinya. Rasi sangat pandai menganalogikan kesukaannya. Pantas saja selama ini ia selalu menjadi orang yang selalu ceria di mata Bintang, lelaki yang selama ini disegani Rasi akibat sifatnya yang dingin itu.

 “Sedikit trivia, cahaya bintang itu bisa bertahan sampai seribu tahun lamanya, meski bintang itu sendiri  sudah tiada! Keren ya?!” Kata Rasi.

   “Mungkin selama ini aku sudah sombong, bukan kepada orang lain melainkan dengan diriku sendiri.” Kata Bintang. Mendengar pernyataan yang keluar dari mulutnya, membuat Rasi begitu penasaran dengan apa yang terjadi dengan lelaki itu.

 “Ngomong-ngomong, kenapa kamu memanggilku Bintang? Bukankah semua orang memanggilku dengan sebutan Eji?”  Bintang adalah lelaki yang sudah mengantar Rasi pulang saat hujan tempo hari lalu. Lelaki itu memang akrab di sapa Eji, namun Rasi memanggilnya dengan nama depannya. Selain karena ia menyukai bintang, ia merasa segan memanggil lelaki itu dengan sebutan Eji, karena dirinya merasa tidak akrab dengan lelaki itu.

“Ah, tidak. Aku hanya merasa kamu lebih cocok dengan nama itu.” balas Rasi membuat Bintang tertegun. “Bintang, kalau boleh aku tahu, apa yang sebenarnya terjadi dengan dirimu?” Rasi berusaha mengarahkan topik pembicaraan mereka kearah yang lebih dalam lagi. Namun ternyata, lelaki itu hanya diam tak memberikan respon. Rasi yang baru saja ingin memulai obrolan bersama lelaki itu pun merasa sangat menyesal. Ia merutuki dirinya sendiri seharusnya ia tidak selancang itu ingin mengetahui sesuatu dari seseorang.

Sadar dengan atmosfer yang mulai  canggung, Bintang pun turun dari batu besar yang ia duduki dan menghampiri Rasi yang terdiam dan duduk di sebelahnya. “Hahaha” Mendengar Bintang tertawa membuat Rasi mengernyitkan dahinya karena bingung. “Aku hanya berusaha mencairkan suasana. Aku tahu, pasti dirimu takut kalau aku marah kan?” kata Bintang. “Kau serius ingin mengetahui apa yang terjadi dengan diriku, kan?” Rasi menjawabnya dengan anggukan kepala.

  Dulu Bintang adalah sosok yang baik dan juga ramah. Ia tipe lelaki yang aktif dalam berbagai kegiatan sehingga membuatnya dikelilingi banyak teman. Bintang memiliki wajah yang cukup tampan dengan alis tebalnya yang memikat. Namun semua itu berubah ketika lelaki itu mengalami kecelakaan. Bintang mengalami cidera di kepalanya yang cukup parah. Karena peristiwa itu, Bintang mengalami koma dan ia tidak sadarkan diri selama sepuluh hari. Akan tetapi, kecelakaan itu membuat banyak orang justru tak bersimpati kepada dirinya. Hal itu lah salah satu alasan yang membuat Bintang berubah seperti saat ini.

 “Apa yang sebenarnya terjadi sehingga banyak orang yang tak bersimpati kepadamu? Harusnya mereka semua turut prihatin kan dengan apa yang tengah menimpamu?ujar Rasi tak habis pikir.

“Harusnya memang seperti itu, tetapi mereka semua sudah termakan omongan orang lain sehingga mereka berpikir aku lah yang bersalah.”

“Karena apa?” Tanya Rasi penasaran.

“Saat kejadian aku tak hanya sendirian. Pada hari itu aku hendak pergi ke suatu tempat bersama temanku yang bernama Doni. Malang, saat itu kami justru mengalami kecelakaan dan posisiku saat itu yang di bonceng. Ternyata selama aku tak sadarkan diri, ada banyak masalah yang harus ditanggung oleh keluargaku. Bagaimana bisa tega-teganya teman yang telah memboncengku itu mengatakan kepada semua orang bahwasannya yang menyebabkan kami kecelakaan ialah aku.  Berkata bahwa aku telah mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi hingga hilang kendali.” Terang Bintang. Rasi tak menyangka dengan apa yang baru saja ia dengar, ternyata hal tersebut yang telah membuat lelaki baik ini berubah. “Lalu, apa yang terjadi dengan temanmu itu? Apakah pada saat itu keadaannya juga separah dirimu?” Tanya Rasi. “Sebenarnya pada saat itu ia tidak mengalami luka yang berarti. Namun karena ia tak ingin disalahkan atas apa yang telah terjadi dengan diriku, karena pada saat itu aku mengalami luka yang sangat parah hingga tak sadarkan diri. Lalu ia pun berbohong kepada semuanya dan mengatakan bahwa akulah yang bersalah. Parahnya lagi, ia brpura-pura lumpuh agar semua orang bersimpati pada dirinya dan berpikir kalau aku lah yang telah menyebabkanhal tersebut.”

 Seiring berjalannya waktu, orang-orang mulai mengetahui bagaimana fakta yang sebenarnya terjadi. Doni yang katanya lumpuh itu terlihat tidak kenapa-kenapa. Tetapi semuanya sudah terlambat, lelaki itu sudah menjadi seperti sekarang dan ia sudah tidak peduli dengan mereka semua yang dulunya sempat salah paham kepada dirinya.  Setelah kecelakaan itu, Bintang tidak bisa berkuliah selama beberapa bulan sehingga ia harus mengulang mata kuliah di kelas Rasi yang sekarang. Wajar saja Rasi tidak pernah melihat Bintang dan tak pernah mendengar kabar lelaki itu,  tentang kecelakaan yang dialaminya karena Bintang adalah kakak tingkatnya.

“Kamu tau siapa itu Doni?” Tanya lelaki itu.

Tidak, memang siapa dia?” jawab Rasi.

“Dia adalah kakak kandung dari temanmu, Lisya.”  Seketika Rasi menutup mulutnya, ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana tidak? Pantas saja ketika Rasi menanyakan tentang Bintang  kepada Lisya, Lisya tak mampu menjawabnya dan justru mengalihkan pembicaraannya ke topik yang lain. “Sudah. Tak usah kau pikirkan lagi, yang lalu biarkan berlalu. Apa yang tidak membunuhmu, membuatmu kuat.” Bintang cukup bijak dalam menghadapi persoalan hidup yang menerpanya. Sebenarnya lelaki itu sangat tegar, namun entah mengapa dirinya justru salah mengekspresikan dirinya sehingga berubah menjadi orang yang tak bersahabat.

Setelah mendengarkan cerita Bintang si lelaki dingin itu, tak Rasi sangka ternyata lelaki itu  bisa mencair juga, ia pun merasa senang dalam hatinya. “Nampaknya malam semaki larut, aku ingin segera kembali ke villa.” Kata Rasi. ketika Rasi hendak beranjak dari tempat duduknya, tak disangka ternyata bintang memegang tangannya.

“Aku ingin seperti bintang, yang bisa hidup untuk orang lain, meskipun jauh, tapi aku bisa memastikan kalau aku selalu ada untuk mereka  walaupun aku sudah tidak ada sekalipun.” Mendengar pernyataan itu, Rasi hanya tersenyum dan  segera berlari menuju villa. Bintang terus memandangi Rasi hingga punggungnya sudah tak tampak lagi, tanpa disadari ia pun menyunggingkan senyumannya.

“Terimakasih, Rasi. Kau sudah bisa mengubah cara pandangku yang selama ini salah. Ada satu fakta yang belum kau ketahui, alasanku memotong rambutku yang panjang bukan karena aku takut dimarahi dosen, tetapi karena aku melihat energi positif yang terpancar dari wajahmu yang selalu ceria itu. Aku yakin, rambut gondrongku yang memancarkan aura suram itu telah menakut-nakuti dirimu sehingga kamu tidak pernah menyapaku.” Kata Bintang dalam hatinya.

 Keesokan harinya, semua peserta malam keakraban pun berkumpul untuk melakukan senam pagi dan acara bersih-bersih pantai. Ketika mereka semua sedang beristirahat, ada seorang bapak-bapak penjual telur asin menghampiri mereka. Bapak itu berusaha menawarkan dagangannya kepada para mahasiswa itu, tetapi tidak seorang pun yang membelinya. Namun ketika bapak itu melewati Rasi ia pun berhenti, sambil tersenyum ia memberikan Rasi sebuah telur asin. Karena sudah sedikit pecah, bapak itu pun memberikannya secara cuma-cuma. Namun ketika bapak itu berjalan beberapa langkah, ternyata Bintang memanggil bapak penjual telur asin itu. Awalnya Rasi mengira Bintang ingin membeli telur asin, namun ternyata Bintang hanya membayar telur asin itu tanpa mengambil satu pun. Ternyata ia bermaksud membayar telur asin yang sudah bapak itu beri kepada Rasi. Rasi terpana dengan apa yang barusan ia lihat. Ternyata Bintang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Dengan begitu ia benar-benar percaya, kalau Bintang suatu saat nanti pasti akan menjadi Bintang yang dulu. Bintang yang bersinar untuk orang-orang di sekitarnya.



Tanjungpinang, 17 April 2019
                                                                                                                           
                                                             
            Rini Kusniati

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Cerpen: Rasi Bintang"