Tren Yang Memuakkan
Bukan berarti aku menulis ini aku begitu membenci olahraga bersepeda atau yang lainnya, tapi keresahanku lebih kepada bagaimana pelaku tren ini sok ikuti tren tapi mengabaikan etika.
Aku tidak tau bagaimana dengan di kota kalian ya—di kota tempat aku tinggal, di Kota Samarinda, sedang ada tren bersepedia. Jadi entah pagi, siang, malam atau bahkan tengah malam, akan mudah sekali menemui pesepeda memenuhi jalanan. Pasti karena efek liburan panjang tidak berkesudahan bagi sebagian manusia membuat kegiatan ini menjadi begitu sering dilakukan bahkan di luar hari libur (setiap hari). Membuat orang-orang berbondong untuk membeli sepeda, ya sebenarnya sesuatu yang positif jika pembelian itu kemudian menjadikan sepeda sebagai kendaan pengganti untuk sepeda bermotor—nyatanya tidak. Jadi tujuan positif dari sepeda seperti mengurangi polusi dan menghemat bahan bakar fosil gagal tercapai. Kalau logikaku sih, daripada habiskan uang untuk beli sepeda, mending beli sepatu lalu berlari dengan jarak yang sama ketika ditempuh dengan sepeda—lebih sehat gak sih? Lebih hemat gak sih?
Salah mungkin aku menulis ini, karena aku tidak punya sepeda (lagi) dan mungkin tidak merasakan batapa bahagianya bisa bersepeda bareng bersama teman-teman. Aku memang sudah lama sekali meninggalkan sepedaku, ingatan terakhir yang bisa aku ingat tentang bersepeda bareng adalah saat masih duduk di kursi SMP, kala itu aku bersepeda bareng ke sekolah bersama teman-teman SMP-ku. Hingga akhirnya tren bersepeda bareng ke sekolah itu harus punah dan semua teman-temanku memilih untuk naik angkot, meninggalkan aku sendiri yang tersisa untuk bersepeda sekitar 2,2 km dari sekolah ke rumah (maupun sebaliknya). Malu sih kalau mengingat saat itu, kala itu aku masih belum memiliki pendirian dan memilih untuk kalah kepada tren dan "apa kata orang", sampai akhirnya aku meninggalkan sepedaku dan naik angkot juga kaya orang lemah.
Oke, kembali ke inti permasalahan mengapa aku ingin sekali menulis ini, adalah karena tadi pagi aku merasakan sendiri berangkat kerja terhambat karena di jalan aku terhalang oleh pesepeda yang menguasai jalanan seolah jalan raya adalah warisan bapaknya. Andaikan dia belajar etika, harusnya dia sadar kan kalau jalanan itu milik bersama? Oke, gak apa kalau dia mau naik sepeda menguasai jalanan, tapi asalkan dia bisa bersepeda dengan kecepatan 80 km/jam ke atas, gak masalah kalau itu, gak menyebabkan kemacetan di jalan. Lha ini gak, malah jalan seolah orang lain tidak punya kehidupan untuk dikejar.
Tidak hanya bersepeda, tapi untuk pengguna kendaraan apa pun, alangkah baiknya jika mengetahui tentang hak dan kewajiban setiap pengguna jalan. Penting untuk selalu menghargai hak orang lain, penting untuk selalu memiliki rasa empati terhadap lingkungan sekitar, apalagi keadaan begini nih, penting melatih empati. Jadi kegiatan bersepeda bersama yang positif, janganlah dirusak dengan otak yang tidak terisi dan hati yang tidak berempati!
Bicara tentang hati, tapi keadaan pesepeda kini mungkin bisa menggambarkan bagaimana keadaan negeri ini...
Mau ketawa bawaannya.
Ketawa getir...
Sekian dulu untuk tulisan ini, sampai jumpa lagi.
Cheerio!
0 Response to "Tren Yang Memuakkan"
Posting Komentar